Asih Punia Bhakti

AGNIHOTRA (HOMA YAJÑA ), YAJÑA YANG SANGAT UTAMA*

Yatrà suhàrdàý sukåtam –
agnihotrahutaý yatrà lokaá,
taý lokaý yamniyabhisambhuva
sà no ma hiýsit puruûàn paúuýúca.

Atharvaveda XXVIII.6

(Di mana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal,
orang yang pikirannya damai dan mereka yang
mempersembahkan Agnihotra, di sanalah majelis
(pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik,
memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka
dan binatang ternaknya)

A. Agnihotra (Homa Yajña) dalam Veda dan susastra Sanskerta
Sumber tertua tentang upacara Homa Yajña/Agnihotra dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda khususnya kitab Ågveda X.66.8. Demikian pula kitab Atharvaveda VI.97.1 dan yang lain-lain yang secara tradisional oleh umat Hindu di India disebut Yajña atau Yaga. Jadi bila di India kita mendengar umat Hindu melakukan Yajña atau Yaga yang dimaksud tidak lain adalah Agnihotra walaupun secara leksikal pengertian Yajña atau Yaga jauh lebih luas dibandingkan dengan Agnihotra. Agnihotra dalam pengertian leksikal (masculinum, neutrum dan femininum) yang dimaksud persembahan suci kepada Sang Hyang Agni (api suci) teristimewa adalah persembahan susu, minyak susu dan susu asam. Ada dua macam Agnihotra yaitu yang dilakukan secara rutin (konstan) umumnya 2 kali sehari pagi dan sore (nitya atau nityakàla) dan Agnihotra yang dilakukan secara insidental (kàmya atau naimitikakàla/Monier, 1993: 6).
Istilah yang lain untuk Homa Yajña/Agnihotra adalah Huta (persembahan kepada Sang Hyang Agni) oleh karena itu kita mengenal pula istilah Hotåi yang juga berarti api. Agnihotra juga disebut Havan dan kata Havani berarti sendok (yang dalam bahasa Sanskerta disebut Juhu) untuk menuangkan persembahan cair. Nama Homa mengandung arti persembahan berbentuk cairan yang dituangkan ke dalam api suci (Loc.Cit.). Sumber-sumber lainnya tentang upacara Agnihotra adalah kitab-kitab Bràhmaóa di antaranya Kauûìtaki, Úathapatha, dan Aitareya Bràhmaóa. Selanjutnya bila kita melihat-kitab-kitab Sutra khususnya tentang Kalpasùtra, Gåhyasùtra, Úrautasùtra dan lain-lain selalu kita menemukan informasi tentang betapa pentingnya upacara Homa Yajña/Agnihotra ini. Kitab-kitab Úrautasùtra (Aúvalàyana S.S.II.1.9, Saòkhàyana S.S.II.1, Làþyàyana S.S.IV.9.10., Kàtyàyana S.S.IV.7-10., Mànava S.S.I.5.1., Vàràha S.S.I.4.1., Baudhayana S.S.II., Bhàradvàja S.S.V., Àpastamba S.S.V.1., Hiraóyakeúi S.S.III.1-6, Vaikhànasa S.S.I, Vàdhùla S.S.1.,Vaitàna S.S.5-6) menggambarkan bermacam-macam bentuk tentang persembahan Agnihotra/Homa Yajña yang secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: Seorang pelaksana Agnyadhàna hendaknya setiap hari mempersembahkan persembahan kepada api suci Agnihotra pagi dan sore hari apakah dilakukan oleh perseorangan atau di bawah pimpinan seorang Adhvaryu. Bila tiada seorang Adhvaryu yang memimpin, kepala keluarga dapat melakukannya teristimewa pada waktu bulan purnama dan bulan baru terbit. Dari kitab-kitab Úrautasùtra dan juga kitab Bràhmaóa kita mendapat informasi tentang betapa pahala yang diperoleh bagi mereka yang mempersembahkan atau melaksanakan upacara Agnihotra, dinyatakan bahwa segala keinginannya akan tercapai. Api suci hendaknya tetap menyala pada rumah-rumah para Grhastha. Mereka yang secara rutin melakukan Agnihotra, maka kemakmuran akan dapat terwujud. Agnihotra dengan mempersembahkan biji-bijian, minyak susu, susu, susu asam dan lain-lain yang kini di India disebut Samagri, diikuti dengan pengucapan mantram-mantram, terutama mantram Veda dan hendaknya dilakukan seseorang selama hidupnya atau sampai mencapai tingkatan hidup sebagai Saýnyàsin(Ram Gopal, 1983: 535). Homa Yajña/Agnihotra merupakan persembahan wajib yang dilakukan oleh setiap Gåhastha karena hanya Gåhastha secara sempurna dikatakan dapat melakukan Yajña dan Agni yang dimaksud dalam Agnihotra adalah Tuhan Yang Maha Esa yang bila dilaksanakan pada pagi hari maka persembahan itu ditujukan kepada Sùrya, mantram yang selalu diucapkan adalah:
Oý Bhùr Bhùvaá Svah Oý Sùrya Jyotiá Jyotiá Sùrya Svàhà
dan bila dilakukan sore hari (menjelang malam) ditujukan kepada Agni dengan mengucapkan mantram:
Oý Bhùr Bhùvaá Svah Agni Jyotiá Jyotiá Agni Svàhà (Abhinash Chandra Das, 1979: 493).
Selanjutnya dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa dan juga kitab-kitab Agama atau Tantra, upacara Agnihotra senantiasa dilaksanakan dan tentu pula mantram yang digunakan, di samping mantram-mantram Veda adalah mantram-mantram yang bersifat Pauranic, Agamic atau Tantrik. Kini kita melihat umat Hindu di India, bahwa setiap kegiatan upacara, maka upacara Agnihotra senantiasa merupakan persembahan yang istimewa, artinya dalam perkawinan, upacara kematian, upacara Úarìra Saýskara (yang di Indonesia disebut Manusa Yajña) dan pada hari-hari raya keagamaan, upacara Agnihotra senantiasa dilaksanakan. Bagi Sampradaya Arya Samaj yang didirikan oleh Swami Dayananda Sarasvati (1875) maka upacara ini merupakan kewajiban suci yang mesti dilaksanakan.

B. Homa Yajña/Agnihotra menurut sumber Jawa Kuno (Kawi)
Bila kita membuka sumber tertua Jawa Kuno, maka dalam bagian awal dari kakawin Ràmàyaóa, yakni ketika prabhu Daúaratha memohon kelahiran putra-putranya dipimpin oleh Maharsi Åûyaúåòga keturunan Gadhi kita mendapatkan informasi tentang upacara Agnihotra sebagai berikut:
Saji ning yajña ta humaðang, úrì wåkûa samiddha puûpa gandha phala,
dadhi ghåta kåûóatila madhu. mwang kuúàgra wåtti wetiá (24)

Lumekas ta sira mahoma, pretadi pisaca raksasa minantram,
bhuta kabeh inilagaken, asing mamighna rikang yajna (25)

Sakali karana ginawe, awahana len pratista sannidhya,
Parameswara inangen-angen, umunggu ring kuóða bahnimaya (26).

Sampun Bhaþþàra inenah, tinitisaken tang miñak sasomyamaya,
lawan kåûnatila madhu, úrì wåkûa samiddha rowang nya (27)

Sang Hyang Kuóða pinùjà, caru makulilingan samatsyamàngsadadhi,
kalawan sekul niwedya. inames salwir nikang marasa (28)

Ri sedeng Sang Hyang dumilah, niniwedyaken ikanang niwedya kabeh,
Oûadi len phala mùla, mwang kembang gandha dhùpàdi (29)

Sampun pwa sira pinùjà, bhinojanan sang mahàrûi paripùróóa,
kalawan sang wiku sàkûi, winùrûita dinakûinàn ta sira (30).

Ràmàyaóa I. 24-30.
Sesajen upacara korban telah siap, kayu cendana, kayu bakar, bunga, harum-haruman dan buah-buahan, susu kental, mentega, wijen hitam, madu, periuk, ujung alang-alang, bedak dan bertih (24).
Mulailah beliau melangsungkan upacara korban api (Agnihotra), roh jahat dan sebagainya, pisaca dan raksasa dimentrai. Bhuta Kala semuanya diusir, segala yang akan menggangu upacara korban itu (25).
Segala perlengkapan upacara telah tersedia. Doa dan tempat peralatan hadirnya dewata. Bhatara Siwa yang dimohon kehadiran-Nya, hadir pada tunggu persembahan (26).
Sesudah dewata disthanakan, diperciki minyak “soma”, wijen hitam dan kayu cendana beserta kayu bakar (27).
Api ditungku dipuja, di kelilingi dengan caru dan ikan, daging dan susu kental, bersama nasi sesaji persembahan, dicampur dengan segala yang mengandung rasa (28).
Pada waktu api di tungku itu menyala-nyala, dipersembahkan sesaji itu semua, tumbuh-tumbuhan bahan obat-obatan, buah-buahan dan akar-akaran, kembang harum-haruiman, dupa dan sebagainya (29).
Sesudah Beliau disembah (selesai acara pemujaan), disuguhkan suguhan kepada para maharsi, bersama para wiku (pandita) yang menjadi saksi, mereka dihormati dipersembahkan hadiah untuk beliau (30).
Sumber Jawa Kuna lainnya adalah Agastyaparwa (355) yang menjelaskan berbagai macam Yajña (Pañca Maha Yajña) yang dalam uraiannya tentang Dewa Yajña secara tegas menyatakan bahwa Dewa Yajna adalah persembahan kepada Úivàgni yang dimaksud tidak lain adalah Agnihotra sedang Korawasrama, menyatakan bahwa Dewa Yajña adalah upacara persembahan berupa makanan dan pengucapan mantram-mantram Stuti dan Stava (Hooykaas, 1975: 247) menunjukkan bahwa mantram Veda merupakan sarana dalam Dewa Yajña yang tidak lain juga hampir sama dengan pelaksanaan Agnihotra. Di dalam kakawin Sutasoma 79.8, Tantri Kàmaóîaka 142 dan Nàgarakåtàgama 8.4 dinyatakan bahwa upacara Agnihotra atau Homayajña tersebut merupakan pusat dari upacara korban.
Sumber lainya dalam bahasa Jawa Kuno adalah kitab Adiparwa (197) yang menyatakan: mangarpaóaken udakañjali, magaway agnihortra, yang artinya memper-sembahkan air penyuci tangan dan melaksanakan Agnihotra (Mardiwarsito,1981: 13). Di samping sumber tersebut di atas, pelaksanaan Agnihotra atau Homayajña dijelaskan pula dalam kitab-kitab susastra Jawa Kuno seperti: Brahmaóîa Puràóa 127 dan 178, Wirataparwa 12, Ràmàyana 5.9, Sutasoma 1.11;109.4;110.6;119.12, Nàgarakåtàgama 83.6, Nitiúàstra 8.1;1.114, Tantu Pagelaran 90, Kidung Harsawijaya 6.85; 6.93, Arjunawijaya 53.3; 53.4, Partayajña 11.10, Sasasamuccaya 64, Úlokàntara 41, Tantri Kàmaóîaka 38, Tantri Kadiri 1.38, Calon Arang 122.
Salah satu usaha untuk menyucikan diri bagi seorang Sadhaka adalah dengan melakukan Agnihotra atau Homayajña:

Úuddha ngaranya eñjing-eñjing madyus,
aúuddha úarìra, masùrya sewana, mamuja,
majapa, mahoma.
Úìlakrama, lamp.41.

(Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, sembahyang
kepada Sang Hyang Sùrya, melakukan pemujaan, melakukan Japa
dan melaksanakan Homayajña).

Berdasarkan kutipan tersebut di atas, bahwa Agnihotra atau Homayajna dilaksanakan pula di Indonesia (Bali) dan sebagai pendukung data ini kita masih dapat mengkajinya melalui peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Salah satu peninggalan purbakala adalah adanya lobang api (Yajñaúala atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya upacara Agnihotra. Tempat atau lobang api ini dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura Gunung Kawi yang diyakini oleh penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah lobang dalam sebuah altar di tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk oleh pelaksana upacara Agnihotra. Peninggalan berupa lobang tempat api unggun itu adalah Yajñakuóða (Yajñaúala) dikuatkan pula dengan adanya lobang api di bagian atap sebagai ventilasi keluarnya asap dari tempat dilangsungkannya upacara Agnihotra. Nama-nama seperti Keren, Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyanggeni) dan Úala menunjukkan tempat yang berkaitan dengan dilangsungkannya upacara Agnihotra.
Sumber tradisi di antaranya adalah penggunaan pasepan oleh para pamangku, dedukun atau sedahan desa, menunjukkan pula pelaksanaan Agnihotra dalam bentuknya yang sederhana, sayang tradisi menggunakan pasepan dengan mempersembahkan darang asep atau kastanggi kini nampaknya semakin memudar, pada hal yang penting dalam mempersembahkan pasepan adalah mempersembahkan darang asep tersebut. Kami mendapatkan pula sebuah informasi lisan, yang perlu dikaji kembali lebih seksama, bahwa upacara Agnihotra terakhir terjadi pada masa kerajaan Klungkung di bawah raja Dalem Dimade. Konon saat itu, ketika pelaksanaan upacara Agnihotra berlangsung, panggung tempat upacara terbakar, dan sejak itu raja memerintahkan untuk melaksanakan upacara Agnihotra yang kecil dan sederhana dengan menggunakan paepan (padupan) saja. Bila informasi tersebut benar, maka sejak itulah tradisi melaksanakan upacara Agnihotra mulai memudar di Bali.

C. Agnihotra (Homa Yajña) dalam stuti atau stava
Sayang sekali penelitian ke arah pùjà, stuti atau stava hampir tidak pernah lagi dilakukan setelah meninggalnya Prof.Dr.Hooykaas. Syukur dalam karya bersamanya dengan T.Goudriaan (dalam Stuti and Stava, Bauddha, Úaiva and Vaiûóava Balinese Balinese Brahman Priests, 1970: 23) kita menemukan informasi tentang 8 buah lontar yang isinya adalah puja Homa atau Agnihotra. Empat di antaranya menggunakan judul Agni Janana, sedang sisanya menggunakan judul Homa.
Memperhatikan stuti atau stava yang telah dikaji oleh T.Goudriaan dan C.Hooykaas maka jelaslah bagi kita bahwa mantram-mantram yang disebutkan dalam lontar-lontar tersebut di atas adalah mantram Agnihotra atau Homayajña, di antaranya memakai judul Sùryastava, Saptapùjà, stuti Bhaþþàra Tripuruûa, Rudra Gàyatrì Dhyàna, Brahmastava, Liògastava, Påthivìstava, Àtmakuóða, Viûóu Gàyatrì, Rudra Gàyatrì, Viûóustava dan lain-lain menunjukkan karakter mantra-mantra tersebut bersifat Tantrik yang berbeda dengan Agnihotra seperti yang dikembangkan atau dilaksanakan oleh Arya Samaj di India yang menekankan penggunaan mantram-mantram Veda.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka di masa yang lampau pelaksanaan Agnihotra menggunakan mantram-mantram yang bersifat Tantrik, seperti juga yang oleh sebagian digunakan oleh Sampradaya-Sampradaya di India dewasa ini. Sayang kita belum menemukan praktek pelaksanaan Agnihotra yang pernah dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali di masa yang silam. Mengapa tradisi Agnihotra kini tidak lagi kita jumpai di kalangan para pandita atau di masyarakat ? Untuk menjawab permasalahan ini kiranya penelitian ke arah itu sangat perlu dilakukan.

D. Keutamaan upacara Homa Yajña/Agnihotra
Segala sesuatu yang diketahui atau dirasakan manfaatnya tentu akan dicari atau dilaksanakan oleh umat manusia. Demikian pula halnya upacara Homa Yajña/ Agnihotra. Berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa Agnihotra demikian sangat penting artinya bagi kehidupan umat manusia. Salah satu buku yang menguraikan tentang manfaat Agnihotra adalah Homa Therapy, Or Last Chance diterbitkan oleh Fivefold Path, Inc. Parama Dham (House of Almighty Father), Madison, Virginia, USA,1989 yang menguraikan manfaatnya bagi kesehatan umat manusia.
Sebagai telah diuraikan pada bagian depan dari tulisan ini, Agnihotra atau persembahan kepada api suci adalah merupakan salah satu upacara Veda yang dilakukan setiap hari. Kitab Aitareya Bràhmaóa (V.26) menghubungkan upacara ini dengan seluruh dewa (Viúvedeva) yang diharapkan memberi perlindungan dan kesuburan ternak, sedang kitab Kauûìtaki Bràhmaóa (II.1) mengidentifikasikan persembahan Agnihotra adalah persembahan kepada dewa Sùrya dan menurut kitab suci Veda (Ågveda I.115.1) Sùrya adalah jiwa atau Àtma dari seluruh alam semesta, yang bergerak dan yang tidak bergerak (sùrya àtmà jagatas tasthusaú ca).
Mantram-mantram yang digunakan dalam upacara Agnihotra umumnya dipetik dari kitab suci Veda, Ågveda, Yajurveda (salah satu yang sangat terkenal adalah Agnir jyotir jyotir agnir svàhà, sùrya jyotirjyotiá sùrya svaha, III.9), dan beberapa mantram dari atharvaveda. mantram lainnya biasanya dari mantram sampradaya tertentu, misalnya Saivisme menggunakan mantram pemujaan kepada Ganeúa, Durgàsaptasati, Sivamahimastotra dan lain-lain.
Di dalam Úatapatha Bràhmaóa (II.3.1.1) dinyatakan bahwa Agnihotra diidentikkan dengan Sùrya: Agnihotra tidak lain adalah (pemujaan kepada) Sùrya. Karena ia muncul dari depan (agra) dari segala persembahan, oleh karena itu Agnihotra adalah Sùrya.
Agnihotra adalah persembahan sehari-hari berupa cairan yang dituangkan ke dalam api, terdapat dua macam, yaitu ada yang dilakukan sebulan sekali dan yang dilakukan sepanjang aktivitas hidup. Persembahan Havana dilakukan pagi dan sore dan selanjutnya
orang yang mempersembahkannyapun ketika ia meninggal ia dibakar melalui upacara Agnihotra. Persembahan Yajña ghåta (minyak mentega yang dijernihkan) dan biji-bijian yang harum dituangkan di atas batang-batang kayu kering yang dibakar diikuti dengan pengucapan mantram-mantram Veda. Yajña dilakukan pula pada bulan mati (Amavasya) dan pada bulan purnama (Pùróamasi atau Pùróima). Agnihotra adalah upacara yang sangat penting dari upacara-uapacara Veda yang dilakukan pada pagi dan sore hari oleh para Gåhastha (keluarga). Kitab Mahàbhàrata menyatakan: Seperti seorang raja di antara umat manusia, seperti Gàyatrì mantram di antara seluruh mantram, demikian pula upacara Agnihotra adalah upacara yang sangat penting di antara semua upacara-upacara Veda ( Ganga Ram Garga, 1992: 217).
Mengingat peranan fungsi-fungsi mantram, khususnya mantram Gàyatrì dan Mahàmåtyuñjaya serta upacara ini dapat mengusir kekuatan-keuatan jahat sebagai digambarkan dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa, maka upacara Homa Yajña/ Agnihotra yang sering disebut sebagai The Jewel of all Yajñas sangat besar manfaatnya bila dilakukan dengan penuh kekhusukan sesuai dengan syarat pelaksanaan sebuah Yajña.

E. Pelaksanaan upacara Homa Yajna / Agni Hotra dan Sarananya
Seperti telah diuraikan di atas, Homa Yajña/Agnihotra adalah upacara Veda yang merupakan permata atau mutiara dari semua Yajña dalam agama Hindu. Seperti pengamatan kami di india, upacara ini dilaksanakan dalam berbagai kegiatan upacara Pañca Yajña, baik Dewa Yajña, Pitra Yajña, Åûi Yajña, Nå atau Manusa Yajña Yajñ, demikian pula dalam pelaksanaan upacara-upacara besar di Bali di masa yang silam, dilaksanakan pula upacara yang sangat utama ini.
Persembahan Homa Yajña/Agnihotra sebaiknya dipimpin oleh seorang Dvijati atau pandita (pùjàri), bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan oleh seorang pamangku atau pinandita yang hidupnya senantiasa Vegetarian. Para peserta mengiringi pemimpin upacara dengan mengucapkan Svàha (untuk Dewa Yajña dan Yajña yang lain) dan Svàdha khusus untuk upacara Homa Yajña yang dilakukan dalam rangka Pitra Yajña, pada akhir setiap mantra dengan sekaligus mempersembahkan persembahan yang telah disediakan dengan bahan persembahkan ditempatkan di atas telapak tangan dalam posisi tengadah yang disorongkan kedalam Kunda atau Vedi, tempat api persembahan berkobar. Homa Yajña yang dilakukan dalam rangka upacara kematian, biasanya dilakukan setelah 12 hari selesai pembakaran jenasah (Antyesti atau Ngaben), sebelum hari tersebut dipandang masih dalam keadaan Cuntaka. Peserta yang mengikuti upacara Homa Yajña/Agnihotra dilarang bercakap-cakap dengan sesama peserta, merokok, minum minuman keras dan melakukan penyucian diri (mandi besar) seandainya sebelumnya melakukan hubungan suami-istri.
Sebelum secara khusus membahas pelaksanaan upacara Yajña ini, kiranya perlu diketengahkan tata-tertib untuk melaksanakan dan mengikuti upacara yang sangat suci ini, antara lain: peserta telah datang 15 menit sebelum upacara dimulai, diharapkan memakai pakaian sembahyang, yang dibenarkan duduk di sekeliling kunda, vedi atau lobang api hanyalah mereka yang telah didvijati (pandita) atau pamangku (pinandita), sedang peserta lainnya mengambil posisi dari para pandita atau pinandita tersebut. Sang Yajamana atau yang mempersembahkan upacara dan seluruh peserta upacara tidak diperkenankan meninggalkan upacara sebelum upacara selesai dilaksanakan. Posisi duduk peserta upacara adalah: peserta wanita di sebelah kiri dan laki-laki di sebelah kanan kunda atau vedi. Dilarang keras mempersembahkan ke dalam api suci bahan-bahan kimia berupa plastik, lilin, dupa atau bahan-bahan yang telah jatuh ke tanah, karena telah cemar atau lungsuran.
Pelaksanaan Homa Yajña/Agnihotra dimulai dengan menyiapkan air suci (sedapat mungkin Tìrtha Gangga), dan sangat baik bila seorang atau beberapa Dvijati (pandita) terlebih dahulu “ngarga” atau memohon Tìrtha dengan menghadirkan dewi Gangga (dengan sarana Ganggastava) di dalam Kumbha (di atas Tripada) sebagai sarana dalam acara Homa Yajña/Agnihotra. Selanjutnya dilakukan penyucian diri (acamana) dan Praóàyama. Setelah penyucian diri dan praóàyama dilanjutkan dengan pemujaan kepada Agni (menggunakan mantra Agni Sùkta/Ågveda I.1-9), Gàyatri mantram 108 atau 21 kali, Mahamåtyuñjaya 21 kali dan dalam pemujaan tertentu untuk kesejahtraan nusa dan bangsa menggunakan mantram-mantram seperti berikut: Påthivì Sùkta, Puruûa Sùkta, Nasadiya Sùkta, Úàntiprakaraóa dan ditutup dengan Úànti mantra (Paramaúànti).
Sarana upacara persembahan adalah kayu bakar, sedapat mungkin kayu mangga, intaran, beringin, cempaka, sandat, tulasi, majagau, batang kelapa kering atau cendana yang telah kering dengan panjang + 10 -30 Cm dengan diameter 1-2 Cm, supaya mudah terbakar. Gahvya (gobhar) diambil dari kotoran sapi-sapi yang dipelihara dan disayangi oleh pemiliknya dan bukan berasal dari tempat/rumah pemotongan hewan. Sarana lainnya adalah daun, batang, bunga, akar dan ranting kayu tulasi (disebut Pañcàngga) dan juga daun mangga, di samping juga susu segar, yoghurt, gula merah, ghee (susu asam), madhu (kelima materi tersebut dinamakan Pañcàmåta), kapulaga, biji kacang hijau, cengkeh, beras merah, putih dan hitam serta wijen.
Sangat baik bila sebelum mempersembahkan Homa Yajñ didahului dengan mempersembahkan pejati dan pesaksi kepada dewata yang bersthana di sebuah pura bila upacara itu dilaksanakan di dalam pura. Bila dikaitkan dengan upacara besar, sangat baik dilengkapi dengan Pañcadhatu (emas, perak, tembaga, kuningan dan besi).
Adapunbentuk kunda atau vedi umunya berbentuk piramid terbalik, dapat dibuat dari tembaga atau besi, disamping juga dari batu bata atau sebuah paso (belanga yang agak datar di Bali juga disebut dengan nama cobek dan semuanya harus baru (payuk anyar). Bila upacara Homa Yajna/Agnihotra dilaksanakan pada pagi hari sangat baik bila menghadap ke Timur, sore hari menghadap ke Barat. Bila didepan altar atau pelinggih, sebaiknya menghadap altar atau pelinggih tersebut. Demikian pula bila dilaksanakan di tepi pantai hendaknya menghadap ke laut, di pegunungan diarahkan ke puncak gunung dan di tepi sungai atau mata air, di arahkan ke sungai atau mata air.

F. Mantra yang digunakan dan terjemahan
Mantram-mantra yang digunakan pada umumnya diambil dari mantram-mantram kitab suci Veda, dan banyaknya Sùkta yang dirapalkan tergantung kepada tujuan upacara Homa Yajña tersebut, demikian pula pilihan Sùkta umumnya disesuaikan dengan situasi pada saat upacara dilaksanakan, misalnya untuk upacara Dewa Yajña dan lain-lain. Berikut kami sampaikan susunan mantram yang digunakan serta terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia:

I. Asana:
Oý Prasadha Sthiti Úarìra Úiva suci nirmalàya namaá svàha.

II. Acamana (penyucian diri)
Penyucian tangan :
Kanan : Oý Úuddhamàm svàha
Kiri : Oý Ati Úuddhamàm svàha

Penyucian Pikiran:
Om tejo’asi tejo mayi dhehi, vìryamasi vìrya mayi dhehi,
balamasi balam mayi dhehi, ojo’as ojo mayi dhehi,
matyurasi matyum mayi dhehi, saho’asi saho mayi dhehi

Yajurveda XVI.6
(Om Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah sumber dari cahaya anugrahkanlah
cahaya itu kepada kami, Engkau adalah pahlawan kami, anugrahkanlah sifat
kepahlawanan itu kepada kami, Engkaui adalah sumber kekuatan, anugrahkan
lah kekuatan itu kepada kami. Engkau memancarkan cahaya, anugrahkanlah
pancaran cahaya itu kepada kami. Engkau menaklukkan keagungan dan cinta
kasih, anugrahkanlah hal itu kepada kami. Semogalah kami menjadi pusat, dan
sumber dari kebajikan yang suci).

Pengucapan Omkara 21 kali masing-masing 5 kali untuk Pañca Jñànendriya,
Karmendriya, Pañca Pràóa, Pañca Mayakoûa dan 1 kali untuk Atman.

III. Pràóàyàma (mengatur nafas sehingga aliran nafas sangat lembut):
Om Bhùá,
Om bhuvaá,
Om Suvaá,
Om Mahaá,
Om Janaá,
Om Tapaá,
Om Satyam
Om Tat savitur vareóyam
bhargo devasya dhìmahi
dhìyoyonaá pracodayat.
Om àpo jyotì raso amåtam brahma
Bhùr Bhuvas Suvar Om.-

(Om adalah Tuhan yang Maha Esa penguasa sapta Loka.
Om Tuhan Yang Maha Agung, kami bermeditasi kepada kemaha muliaan-
Mu, Tuhan Maha Pencipta yangmenciptakan segalanya, anugrahkanlah
kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur kepada kami.
Om adalah air, cahaya, dan bumi yang menganugrahkan makanan yang lezat, udara segar mendukung kehidupan, yang meresapi angkasa dan pikiran, intelek dan kami senantiasa ditandai oleh kebesaran dari Bhùr, Bhuvaá dan Suvaá)
.
IV. Ganeúa pùjà
Ganeúa adalah putra Sang Hyang Úiva sebagai Vighneúvara, penangkal dan penolak
segala rintangan dan bencana. Pemujaan kepada Sang Hyang Ganeúa dimaksudkan
untuk memohon keselamatan setiap upacara Yajña dan aktivitas kehidupan.
Om Vaktratunda mahàkaya
Sùryakoti sàma prabha
Nirvighnam kurume deva
sarva karyesu sarvada.

(Om Hyang Vidhi, kami memuja dalam wujud-Mu sebagai Ganeúa yang belalai
nya panjang dan badannya besar, yang cahayanya bagaikan ribuan matahari, yang
melenyapkan segala bencana, semua karya dalam kesuksesan).

V. Agni Sùkta Ågveda I.1-9:
(Agni sebagai purohita para dewata yang mewakili semua dewata untuk menerima
bhakti persembahan dari umat-Nya):
1. Om Agnim ìíe purohitaý/
yajñasya devam åtvijam/
hotàraý ratnadhàtamam//
(Kami memuja Agni, Pandita Utama, dewa penyelenggara upacara Yajña, kami
memuja (Engkau), pemberi anugrah (kekayaan) utama.)

2. Agniá pùrvebhir åûibhir/
ìíio nutanair uta/
sa devàm eha vakûati//
(Agni, Engkau dipuja oleh para mahàrûi di masa yang silam dan kini, semoga
Engkau mendatangkan para dewa hadir di sini).

3. Agninà rayim aúnavat/
poûam eva dive-dive/
yaúasaý vìravattamam//
(Melalui Agni, umat manusia memperoleh harta benda (dan) kebahagiaan setiap
hari, sangat mulia (dan) pahlawan yang agung).

4. Agne yaý yajñam adhvaraý/
viúvàtaá paribhùr asi/
sa id deveûu gacchati//
(Oh Agni, pemujaan dan persembahan yg ditujukan kepada-Mu dari setiap sisi,
(semuanya) itu sampai kepada para dewa).

5. Agnir hotà kavikratuá/
satyas citraúravastamaá/
devo devebhir à gamat//
(Semoga Agni, Pandita yang bijaksana, sangat cerdas, kebenaran dan
kebijaksanaannya yang maha agung datang bersama para dewa).

6. Yad aòga dàúuûe tvam/
Agne bhadraý kariûyasi/
tavet tat satyam Aògiraá//
(Rakhmat apapun wahai Hyang Agni yang Engkau karuniakan kepada pemuja-
Mu, wahai Angira, itulah kebenaran-Mu.

7. Upa tvàgne dive-dive/
dosàvastar dhiyà vayam/
namo bharanta emasi//
(Kepada, wahai Hyang Agni siang dan malam, yang menerangi kegelapan, kami
datang menghadap-Mu dengan kebaktian (yang mantap).

8. Ràjantam adhvarànam/
gopam åtasya dìdivim/
vardhamànam sve dame//
(Hyang Agni pengatur persembahan,
pengendali hukum abadi yang senantiasa
bercahaya, berkilauan di rumah kami).

9. Sa naá pìteva sunave/
Agne sùpàyano bhava/
sacasva nah svastaye//
(Wahai Hyang Agni, mudahkanlah mendekati kami, spt. seorang ayah kepada
anaknya. Tinggallah bersama kami untuk kebahagiaan kami).

VI. Gàyatri 108 kali
Gàyatri mantram disebut mantram disebut Vedamàtà, ibu dari semua mantram Veda. Mantram ini disebut juga dengan nama Savitrì atau Savità mantram, merupakan Samanya yang dapat diucapkan oleh siapa saja bila dilakukan dengan kesungguhan, akan tercapai permohonannya.

Oý Bhur Bhuvah Svah Tat savitur vareóyam
bhargo devasya dhìmahi
dhìyoyonaá pracodayat.

(Om Tuhan Yang Maha Agung, kami bermeditasi kepada kemaha muliaan-
Mu, Tuhan Maha Pencipta yangmenciptakan segalanya, anugrahkanlah
kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur kepada kami).

VII. Mahàmåtyuñjaya (21 kali)
Mantram ini memohon kemahakuasaan Sang Hyang Úiva sebagai Sang Hyang Rudra yang melindungi dari berbagai bahaya dan menjauhkannya dari penderitaan:
Oý Tryaýbhakaý yajamahe
sugandhim puûþi vardhanam,
urvàrukam iva bandhanàn
måtyor mukûìya màmåtàt
Ågveda VII.59.12
(Ya Tuhan Yang Maha Esa, kami memuja sebagai Sang Hyang Úiva Rudra yang
menyebarkan keharuman dan menganugrahkan makanan. Semoga Engkau
melepaskan kami dari penderitaan seperti buah mentimun (yang masak) dari batangnya, dari kematian dan bukan dari kekekalan).

VIII. Guru Pùjà
Dengan Guru Pùjà dimaksudkan kita memohon karunia dan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru agung alam semesta, termasuk juga pemujaan kepada para guru atau maharsi yang suci yang telah mencapai alam kedewataan, yang membimbing umat manusia

Om Gurur Brahma gurur Viûóu
gurur devo maheúvara
gurur sakûat paraý Brahma
Tasmai úrì gurave namah.

(Kami memuja Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru agung alam semesta, sebagai
Brahma, Visóu dan Úiva, hamba bersujud mohon karunia-Mu).

IX. Påthivì Sùkta
Påthivì adalah wujud Tuhan yang Maha Esa sebagai penguasa bumi. Ia digambarkan sebagai seorang ibu yang penuh cinta kasih yang sejati memelihara semua mahluk di bumi ini dengan menjadikan bumi seperti seorang ibu yang memberikan segalanya kepada putra-putinya yang baik.

1. Oý tvamasyàvapanì janànàmaditiá
kàmadughà parathàna.
Yat ta ùnam tat ta à pùrayati
prajàpatiá prathamajà åtasya.
Atharvaveda XII.1.61.
(Wahai Ibu pertiwi Engkaulah yang memberikan kesuburan dan selalu memenuhi keinginan umat manusia. Dewa Prajàpati akan melengkapi bilamana ada yang kurang untuk ibu pertiwi).

Upasthàste anamìvà ayaksmà
asmabhayaý santu påthivì prasùtàá.
Dìrghaý na àyaá pratibudhyamànà
vayaý tubhyaý balihåtaá syàma.
Atharvaveda XII.1.62.
(Ya Tuhan Yang Maha Esa! Kami tidur (istirahat) dipelukan ibu pertiwi dan berikanlah karunia supaya kami hidup tanpa penyakit apapun, dan mendapatkan kehidupan yang panjang, kami akan selalu memuja-Mu dengan sepenuh hati).

Bhùme màtarnidhehi mà
bhadrayà supratiûþhitam.
Samvi dànà divà kave úrìyàý
mà dhehi bhùtaum.
Atharvaveda XII.1.63
(Wahai Ibu Pertiwi lindungilah kami dan berikanlah karunia-Mu supaya kita hidup dalam kedamaian. Oh Ibu Pertiwi, tetapkanlah kami dalam kekayaan dan kebahagiaan.

XI. Puruûa Sùkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa )
Tuhan Yang Maha Esa ketika menciptakan alam semesta beserta segala isinya
menjadikan Diri-Nya sendiri sebagai Yajña, oleh karena itu umat manusia masti
ikut memutar Cakra Yajña dengan jalan melaksanakan Yajña tiada hentinya dalam
rangka Tri Åóa, hutang jasa kepada-Nya dan ciptaan-Nya.

1. Oý Sahasraúìrûà puruûaá
sahasràkûaá sahasrapàt,
sa bhùmim viúvàto våtvaty
aþiûþhad daúàògulam.

(Purusa berkepala seribu, bermata seribu,
berkaki seribu, memenuhi dunia, pada semua arah,
mengisi angkasa selebar sepuluh jari).

2. Puruûa evedaý sarvaý
yad bhùtam yac ca bhavyam
utàmritatvasyeúano yad annenàtirohati.

(Sesungguhnya Purusa adalah semua ini semua
yang ada sekarang dan yang akan datang,
ia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan).

3. Etàvàn asya mahimàto
jyàyàmas ca puruûaá
pado’sya viúvà bhùtàni
tripàd asyamåtaý divi.

(Demikian hebat kebenarannya.
Dan Purusa bahkan lebih besar dari ini.
Semua wujud ini adalah seperempat dari dirinya.
Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga).

4. Tripàd ùrdhva ud ait puruûaá
pàdo syehabhavat punaá,
tato viûan vya kràmat sàúanànaúane abhi.

(Tiga perempat sari Puruûa pergi membubung jauh.
Seperempat lagi lagi berada di dunia ini
yang berproses terus menerus berselang-seling
dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa).

5. Tasmàd viràj ajàyata
viràjo adhi puruûaá,
sa jàto aty aricyata paúcad bhùmiý atho puraá.

(Dari dia Viràj kahir dan dari Viraj kembali.
Segera setelah ia lahir ia mengembang ke timur
mengembang kebarat mengatasi dunia).

6. Yat puruûeóa haviûà
devàyajñam atanvata,
vasanto asyàsid àjyam grìûma
idhmaá úarad dhaviá.

(Ketika para sewa mengadakan upacara kurban
dengan Purusa sebagai persembahan, maka minyaknya
adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan
sajian persembahannya adalam musim gugur).

7. Taý yajñam barhiûi prauksan
purusaý jàtam agrataá,
tena devà ayajanta sàdhya åûayas ca ye.

(Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput
Purusa yang lahir pada awal penjadian.
Pada dia para dewa dan semua sadhyas dan para åûi mempersembahkan kurban).

8. Tasmàd yajñàt sarvahutaá
sambhåtaý påsadàjyam
pasùn tàmú cakre vàyavyàn
araóyàn gràmyàú ca ye.

(Dari korban itu , yang padanya universal di persembahkan
keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur.
Kemudian ia jadikan binatang-binatang yang padanya
Vàyu berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak).

9. Tasmàd yajñàt sarvahuta
åcaá sàmàni jajñire,
chandànsi jajñire tasmàd
yajus tasmàd ajàyata.

(Dari korban itu, yang padanya universal dipersembahkan,
Åca dan nyanyian Sàma lahir. Dari dia lahirnya metrik.
Dari dia lahirnya Yajus).

10. Tasmàd aúva ajàyanta ye ke chobayadataá,
gavo ha yajñire tasmàt tasmàj jàta ajàvayaá.

(Dari dia lahirlah kuda dan binatang apa saja
yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari dia.
Dari dialah lahirnya kambing dan biri-biri).

11. Yat puruûaý vyadadhuá
katidhà vyakalpayan
mukhaý kim asya kau bàhù
kà ùrù pàdà ucyete.

(Ketika meraka menjadikan Purusa korban,
menjadi berapa bagiankah mereka bagi dia ?
Dan apakah mereka sebut paha kakinya ?)

12.
Bràhmaóo’sya mukham àsìd
bàhù ràjanyah kåtaá,
ùrù tad asya yad vaiúyaá
pàdbhyam úùdro ajàyata.

(Mulutnya menjadi Bràhmaóa, lengannya menjadi Ràjanya,
pahanya menjadi Vaiúya, Sudra lahir dari kakinya.

13. Candramà manaso jàtàs
cakûoá sùryo ajàyata,
mukhàd Indraú càgniúca
pràóàd vàyur ajàyata.

(Bulan lahir dari pikirannya, matahari dari matanya,
Indra dan Agni lahir dari mulutnya, Vàyu dari nafasnya).

14. Nàbhyà àsìd antarikûaý
úirûo dyauá sam avartata,
pàdbhyàm bhùmir disahúrotrat
tathà lokàn akalpayan.

(Dari pusarnya cakrawala ini lahir,
dari kepalanya lahir langit,
dari kakinya lahir dari bumi,
dari telinganya lahir keempat penjuru mata angin,
demikianlah mereka membentuk dunia ini).

15. Saptàsyàsan paridhayas triá
sapta samidhaá kåtàá
devà yad yajñaý tanvànà
abadhnam puruûaý paúum.

(Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu,
tiga kali enam potong kayu bakar sisiapkan,
ketika para dewa mempersembahkan upacara itu
yang mengikut Purusa sebagai kurban).

16. Yajñena yajñam ajàyanta devàs
tàni dharmàói prathamàmy àsan,
te ha nàkam mahimànaá sacanta
yatra pùrve sàdhyaá úànti devàá.

(Dewa-dewa dengan mengandalkan upacara korban
memuja (dia yang juga) upacara korban. Mereka yang
agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas,
dewa-dewa jaman dahulu).
Rgveda X.90.1-16

XII. Nasadiya Sukta ( proses kejadian alam semesta )

1. Nasad àsìn no sad àsìt tadanìý
nàsìd ràjo no vyomà paro yat,
kim avarìvaá kuha kasya úarman nambhaá
kim àsìd gahanaý gabhìram.

(Pada waktu itu dia tidak ada yang bukan ada maupun yangh ada.
Waktu itu tidak ada dunia,tidak ada langit pun pula tidak ada yang di atas itu. Apakah yang menutupi dan dimana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya).

2. Na måtyur àsìd amåtaý na na tarhi
na ràtrya ahna àsìt praketaá,
anìd avàtaý svadhayà tad ekaý
tasmàd dhànyan na paraá kiý canàsa.

(Waktu itu tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan.
Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam.
Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri.
Bernafas menurut kekuatanya sendiri. Di luar Dia tidak apapun juga).

3. Tama àsìt tamasà gùlham agre praketaý salilaý
sarvam à idaý tuchyenàbhv apihitaý yad àsìd
tapasas tan mahina jàyataikam.

(Pada mula pertama kegelapan di tutupi oleh kegelapan.
Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan.
Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk.
Dengan tenaga panad yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong).

4. Kàmas tad agre sam avartatadhi
manaso retaá prathamaý
yad àsìt sato bandhum asàtì nir avindan
hådi pratìûyà kavayo maniûà.

(Pada awal mulanya, setelah itu, timbullah keinginan.
Yang merupakan benih awal dan benih semangat.
Para Rsi setelah meditasi dalam hatinya
menemukan dengan kearifannya hubungan
antara yang ada dan yang bukan ada).

5. Tiraúcìno vitato raúmir eûàm
adhaá svid àsìd upari svid àsìt,
rethodà àsan mahimàna àsan
svadhà avastat prayatiá parastàt.

(Sinarnya terentang ke luar, apakah ia melintang,
apakah ia di bawah atau diatas. Beberapa menjadi pencurah benih,
yang lain amt hebat. Makanan adalah benih rendah, pemakan adalah
benih unggul).

6. Ko addhà veda ka iha pra vocat kuta àjàtà kuta iyaý viúåûþiá,
arvàg devà asya viûarjanenàthà ko veda yata àbabhùva.

(Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui ?
Siapakah di dunia ini dapat menerangkannya ?
Dari manakah penjadian ini, dari manakah timbulnya ?
Dewa-dewa ada setelah penjadian ini, kemudian siapakah yang tahu,
dari manakah ia muncul).

7.
Iyaý viúrûþir yata àbabhuva yadi vàdadhe yadi và na,
yo asyàdhyakûaá parame vyoman so àòga veda yadi và na veda.

(Dia, yang dari padanya penjadian timbul yang membentuknya
atau mungkin pula tidak. Dia yang mengawasi alam ini
berada di langit yang tertinggi, sesungguhnya ia mengetahui
atau barang kali tidak.mengetahui).
Ågveda X.129.1-7

XIII. Úàntiprakaraóam
Mantram untuk memohon kerahayuan jagat beserta semua mahluk hidup di
dalamnya.

1. Oý saýnaá somo bhavatu bahma sam nah
saý no gravanaá samu santu yajñah.
Saý naá svarunam mitayo bhavantu
saý naá prasvah saývastu vedih.
Ågveda VII.35.7
(Soma rasa (amåta) yang digunakan dalam yajna memberikan damai kepada kami, mantra-mantra dari veda memberikan damai kepada kami, alat-alat untuk mendapatkan somarasa memberikan damai, yajna memberikan kedamaian kepada kami, stupa untuk yajna memberikan damai kepada kami. Usada memberikan damai kepada kami, dan tempat yajna (vedi) memberikan damai kepada kami.

2. Oý saý no vàtaá pavataý saý nastapatu sùryaá.
Saý naá kanikradaddevaá parjaóyoabhi vàrsatu.
Yajurveda XXXVI.1.10
(Ya Tuhan Yang Maha Esa, semogalah udara yang berhembus memberikan kedamaian kepada kami, surya bersinar untuk kedamaian kami, awan dengan suaranya menurunkan hujan menimbulkan kesuburan pada tumbuh-tumbuhan untuk kedamaian kami).

3. Om agne naya supathà raye asmàn
viúvàni deva vayunàni vidvan.
Yuyodhy asmaj juhuràóam eno
bhuyistham te nama uktim vidhema.

Ågveda I.189.1.
(Ya Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Mu sebagai Agni ! Yang maha bijaksana, tunjukkanlah jalan yang benar dan untuk mencari kebahagiaan dan kekayaan, kita akan menjalani utama karma agar supaya kita dijauhi dari papakarma (perbuatan yang penuh dengan papa). Untuk itu kita dengan penuh sujud dan selalu memuja dan mendapatkan ananda).

4. Oý prajàpate na nadetanyanyo
viúvà jatani parita babhuva.
Yatkàmaste juhumastanno astu
vàyam syàma patayo patayo rayióam.

Ågveda X.121.10
(Ya Tuhan Yang Maha Esa sebagai Prajàpati ! Tiada selain-Mu yang berada dimana-mana di dunia ini. Apapun keinginan kami dan untuk memenuhi keinginan tersebut, kami datang kepada-Mu. Penuhilah semua keinginan kami supaya semua terwujud dan kami menjadi kaya raya di dunia ini).

5. Oý svasti na indro våddhaúravaá
svasti naá puúa viúvàvedaá.
Svasti nastar kûyo aristanemiá
svasti no båhaspati ådadhatu.
Ågveda I.89.6
Dewa indra ! Maha besar tersebar dimana-mana berikanlah kebahagiaan kepada kami, Wahai dewa yang maha tahu, peliharalah dunia, berikanlah kebahagiaan kepada kami. Jalinkanlah tali rasa-mu yang tidak pernah putus dan melalui karunia-mu seseorang bisa melewati dunia ini dan mencapai tujuan akhir, berikanlah kebahagiaan. He pelindung yang maha besar berikanlah kebahagiaan kami.

6. Oý taccakûur devahitaý
purastacchukramuccarat.
Paúyema úaradaá úataý
jìvema úaradaá úataý
úranuyàma úaradaá úataý
pra bravama úaradaá úatam
adinah syàma úaradaá úataý
bhùyaúca úaradaá úatàt.

(Tuhan Yang Maha Esa adalah saksi seluruh u,at manusia dan maha karunianya bagi para sarjana. Beliaulah yang pertama sebagai cahaya (teja). Untuk itu agar kami dapat melihat beliau seratus tahun, kami dapat hidup seratus tahun, mendengar seratus tahun, untuk itu keagungan tuhan dapat kami ceritakan seratus tahun dan kami bisa hidup seratus tahun dengan kebebasan, dan kemudian kita hidup lebih dari seratus tahun).

7. Oý bhadraý karóebhiá úåóuyàma deva
bhadraý paúyemàkûabhir yajatraá.
Sthirair aògaiûþustuvàmsas tanùbhir
vyasemahidevahitam yad àyuh.
Ågveda I.89.10
(Ya Tuhan Yang Maha Esa! Anugrahkanlah karunia-Mu supaya kami mendengar yang baik dari telinga kami, melihat selalu yang baik dari mata kami, berikanlah kekuatan badan yang sehat supaya kami selalu memujamu dan sesuai dengan karma kami mendapatkan hidup yang lengkap dan tidak meninggal sebelum waktunya).

8. Oý saý no dyavapåthivì pùrvahutau
sam antarikûam dåúaye no astu.
Saý na osadhirvanino bhavantu
saý no ràjaspatirastu jiúnuá.
Ågveda VII.35.5.
(Ya Tuhan Yang Maha Esa! Pagi-pagi setelah bangun kami selalu memohon supaya Dyuloka dan Prithiviloka memberikan kedamaian kepada kami, demikian juga pada waktu setelah bangun, kita mlihat antariksaloka, dan memohon supaya antariksaloka memberikan damai kepada kami. Usada memberikan damai kepada kami. Ya Tuhan Yang Maha Besar rajanya dunia yang selalu jaya anugrahkanlah kebahagiaan kepada kami).

XIV. Abhaya dan Úivasaýkalpa
Mantram ini mendorong umat-Nya senantiasa tegar dalam menghadapi berbagai
cobaan, tidak ada rasa takut atau khawatir dan hidup dalam ketenangan.

Om Abhayaý mitràd abhayam amitràd
abhayam jñàtàd ajñàtàd abhayaý puroyaá.
abhayaý naktaý abhayam divanaá
sarva àsà mama mitram bhavatu
Ågveda IX.15.6

(Ya Tuhan Yang Mahakuasa ! Semoga saya tidak takut kepada kawan-lawan, dan tidak takut kepada yang tidak dikenal, semoga malam dan siang hari kami tanpa takut. Semoga semua arah memberikan sahabat kepada kami).

Oý yajjàgrato dùramudaiti
daivaý tadu suptasya tathaivaiti.
Dùraý gamaý jyotisàm jyotirekaý
tanme manaá úivasaýkalpamastu.
Yajurveda XXXIV.1

Pikiran yang dengan kekuatan dengan kesadaran pada saat sedang bergadang (Jagratah) pergi jauh kemana-mana (Duramdaiti), demikian juga pada waktu tidur (Tatu Suptasya) pergi (berjalan) kemana-mana (Tatha Eva Eti). Pikiran yang demikian (Tat) yang pergi kemana-mana (Duram Gamam) dan paling bercahaya atau bersinar dalam semua cahaya (Jyotisam Jyoti) adalah hanya satu, yaitu pikiran (Ekam), dengan demikian “He Tuhan pikiran seperti itu (Tat Memana) menjadi baik, damai dan memiliki pikiran yang baik (Sivasmkalpamastu)”.

XV. Úànti mantra
Setiap mengakhiri suatu kegiatan keagamaan hendaknya ditutup dengan
permohonan kedamaian seperti diamanatkan dalam Úànti mantram berikut:

Oý Dyauá úàntir antarikûaý úàntiá
påthivì úàntir àpaá úàntir
oûadhayaá úàntiá vanaspatayaá úàntir
viúve devaá úàntir brahma úàntiá
sarvaý úàntiá úàntir eva úàntiá
sà mà úàntir edhi
Yayurveda XXXVI.17.

(Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugerahkamlah kedamain di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, dami pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, dami bagi par dewata, damilah Brahma, damilah alam semesta. Semogalah kedamian senantiasadatang pada kami).

Oý sarve bhavantu sukhinaá
sarve úàntu niramayaá
sarve bhadràni paúyantu
mà kaúcid duákha bhàg bhavet

(Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperleh kebahagiaan, semoga semuanya memperoleh kedamaian, semoga semuanya memperoleh
kebajikan dan saling pengertian dan semoga semuanya terbatas
darii penderitaan).

G. Penutup
Demikian keutamaan upacara Homa Yajña/Agnihotra menurut kitab suci Veda, sudah tentu banyak hal yang mesti perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali terhadap sumber-sumber yang ada baik dalam bahasa Sanskerta maupun Jawa Kuno. Semoga kata pengantar ini bermanfaat dalam rangka penyempurnaan tulisan ini dan semua pikiran yang baik dari segala penjuru.
Oý Úàntiá Úàntiá Úàntiá Om

Denpasar, Upacara Panca Wali Krama, 17 Maret 1999

—————————
* Disampaikan pada acara Kemah Sadhana Tahun 2009 Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Klungkung, tanggal 17 Juni 2009 bertempat di Lapangan Tembak Desa Paksabali, Klungkung.
** Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D. Guru Besar Ilmu Veda Fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, memperoleh gelar Ph.D di Gurukula Kangri University Hardwar, Uttar Pradesh India (1993) dan Dr. Kajian Budaya Universitas Udayana (2005).

Leave a comment