Asih Punia Bhakti

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU BERBASIS GLOBAL*

Manur bhava, janayà daivyaý janam
Ågveda X. 53. 6
‘Wahai manusia, bijaksanalah dan buatlah orang-
orang lain menjadi mulia’

Pendahuluan
Dewasa ini terjadi satu paradoksal dalam kehidupan khususnya dalam dunia pendidikan. Di satu sisi pendidikan pengembangan intelektual sangat maju, di lain pihak pendidikan yang mencerminkan integritas, spiritualitas dan sejenisnya mengalami ketimpangan, yang berakibat munculnya berbagai degradasi dalam kehidupan seperti merebaknya penyakit sosial (judi, pelacuran, minum-minuman keras, pencurian, perkelahian, dan tindak kriminal lainnya).
Situasi yang demikian itu menimbulkan keprihatinan berbagai pihak dan memunculkan berbagai pertanyaan, di antaranya apakah karena kurang baiknya implementasi ajaran agama dewasa ini, atau pada masalah yang lebih menukik, bagaimana implementasi pendidikan agama dewasa ini atau berbasis globalisasi masa kini. Dalam situasi yang demikian, maka tidak ada jalan lain untuk memperbaiki kondisi masyarakat, kembali kepada pendidikan agama yang inklusif, yang mampu mengubah perilaku masyarakat, yakni mengeleminasi penyakit sosial dan mengendalikannya untuk tidak semakin merebak. Pendidikan agama dewasa ini sungguh-sungguh menghadapi tantangan, terutama tantangan globalisasi seperti dinyatakan oleh Appadurai (dalam Ardika, 2005:18) dicirikan dengan perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul di mana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersial. Uang dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan.
Lebih jauh Ardika (2005:18) menyatakan bahwa globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat.
* Disampaikan dalam Seminar Nasional dilaksanakan oleh Program Studi Dharma Acarya, Program Pascasarjana, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Sabtu, 30 Mei 2009 bertempat di Auditorium Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
**Prop. Dr. I Made Titib, Ph.D memperoleh gelar Doktor (Ph.D) dalam Ilmu Veda di Gurukula Kangri University, Haridvar, Uttar Pradesh, India, 1993, dan gelar Doktor Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, 2005. Mantan Perwira TNI-AD, Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar, Direktur Urusan Agama Hindu, Departemen Agama R.I., dan Ketua I Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Kini Guru Besar dan Dekan fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Sistem Pendidikan menurut Veda
Dalam sistem pendidikan menurut Veda, anak menjadi pusat perhatian, artinya anak merupakan aset dan peserta didik yang mendapat perhatian utama. Kata anak dalam bahasa Sanskerta adalah “putra” Kata “putra” pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra” (Manavadharmaúàstra IX.138). Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Àdiparva Mahàbhàrata 74,27, juga dinyatakan sama dalam Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112. Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra suputra” ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam pendidikan Hindu. Kata yang lain untuk putra adalah: “sùnu, àtmaja, àtmasaýbhava, nandana, kumàra dan saýtàna”. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata “sentana” yang berarti keturunan. “Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu- cucunya” (Àdiparva,74,38).
Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak. Tambahan pula Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini. “Disebutkan bahwa seorang anak merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, mengejar mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri, memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian membahagiakan kecuali seorang anak” (74, 52, 55, 57).”Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia (74, 61-63). Lebih jauh Maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa” (II.28).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan, utamanya pendidikan moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak. Tentang pendidikan ini, kitab suci Veda menyatakan: “Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di antara mereka” (Atharvaveda: III, 30. 3). “Putra dan orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi dengan perbuatan-perbuatannya yang mulia” (Ågveda I.160.3). “Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami seorang putra yang gagah berani, giat bekerja, cerdas, mampu memeras Soma (tekun berbakti) dan memiliki keimanan yang mantap lahir pada keluarga kami” (Ågveda III.4.9). “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semogalah kami memperoleh putra dengan kulitnya yang kuning langsat, yang tampan, panjang umurnya, patuh kepada orang tua dan gurunya, berani dan saleh” (Ågveda II.3.9). “Wahai anak, datang dan berdirilah di atas batu ini. Kuatkanlah badanmu seperti batu ini” (Atharvaveda II.13.4). “Sesungguhnya anak laki-laki dari putra seorang ayah yang masyhur akan menjadi mulia” (Atharvaveda XX.128.3). Terjemahan mantra Veda yang terakhir ini adalah logis, bila orang tuanya memiliki nama yang harum, maka putranya memperoleh teladan yang baik menjadikan mereka mulia.
Tentang anak yang “suputra”, Maharsi Càóakya dalam bukunya Nìtiúàstra menyatakan: “Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang “suputra” (II.16). “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman” (II.18). Demikianlah idealnya, setiap keluarga mendambakan anak idaman, berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani dan senantiasa memberikan kebahagiaan kepada orang tua dan masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak yang “suputra”. “Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu: anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci” (IV.10). Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang “kuputra” (bertentangan dengan suputra). Tentang anak yang “kuputra” ini, Maharsi Càóakya menyatakan: “Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang “kuputra”, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (II.15). “Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang luhur (suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik” (II.17). “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”(III.16). Hal yang sama diulangi kembali dalam Nìtiúàstra IV.6. yang antara lain menyatakan: “Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”. “Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan”(IV.7).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan rakûaûa” . Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak, dikaitkan pula dengan karakter anak seseuai hari “daúavara”-nya tersebut.
Sistem dan tujuan pendidikan menurut kitab suci di atas sejalan dengan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Pasal 3 Tahun 2003 yang mengamanatkan untuk mengembangkan kecerdasan hoslistik. Selanjutnya tentang kecerdasan holistik, di dalam buku panduan pelatihan membangun kecerdasan holistik (PMKH) (Ditjen Dikti, 2008:1-2) dijelaskan bahwa sesuai Undang Undang Pendidikan Nasional disebutkan pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta betanggung jawab.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pada tahun 2025, Sistem Pendidikan Nasional berhasrat menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Makna Insan Indonesia Cerdas meliputi:
1) Cerdas Intelektual (a. Gandrung akan olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Aktualissi insan intelektual yang kritis, kreatif, dan imajinatif).
2) Cerdas Emosional (a. Gandrung akan olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas terhadap kehalusan dan keindahan, serta meningkatkan kemampuan ekspresi estetis. b. Aktualisasi insan sosial yang mampu membina hubungan timbal balik, empatik dan simpatik, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan yang sadar akan hak dan kewajiban warga negara).
3) Cerdas Spiritual (a. Gandrung akan olah hati/kalbu untuk menumbuhkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. b. Aktualisasi insan beragama mampu membina hubungan yang harmonis, menghargai kebhinekaan dalam beragama, dan menumbuhkembangkan inklusifitas beragama).
4) Cerdas Kinestetik (a. Gandrung akan olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil, dan trengginas. b. Aktualisasi insan adiraga).
Makna insan Indonesia yang kompetitif meliputi:
1) Berkeperibadian unggul dan gandrung akan keunggulan.
2) Bersemangat juang tinggi.
3) Mandiri.
4) Pantang menyerah.
5) Pembangun dan pembina jejaring.
6) Bersahabat dengan perubahan.
7) Inovatif dan menjadi agen perubahan.
8) Produktif.
9) Sadar mutu.
10) Berorientasi global.
11) Pembelajar sepanjang hayat.
Adapun kegiatan dalam upaya mengembangkan kecerdasan holistik tersebut memperkenalkan logika, etika, humaniora, kepekaan sosial, spiritualitas dan soft skills. dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengendalian diri, integritas, moralitas, kerjasama, kepedulian sosial, dan kreatifitas.
Tujuan pendidikan di atas dapat dijabarkan sebagai usaha membantu menumbuhkan sifat prima manusia atau karakter yang sempurna dalam diri seorang siswa. Para orang tua dan guru semuanya bertanggung jawab atas pendidikan anak. Para orang tua adalah guru di rumah dan para guru di sekolah adalah guru profesional. Agar sifat-sifat prima dalam diri anak berkembang, para orang tua, guru dan lingkungan masyarakat harus bekerja sama dan saling membantu. Orang tua dan guru harus mempraktekkan terlebih dahulu sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak-anak. Agar efektif, para guru harus mengajar dari hati dan menyentuh hati sang anak. Karena itu, guru perlu berbicara berdasarkan pengalaman dan bukan hanya mengulang apa yang ada di buku saja.
Suatu waktu ada seorang profesor yang mengajar pada sebuah universitas. Dia telah mengajarkan mata pelajaran yang sama selama bertahun-tahun dan ia sendiri mulai bosan. Lalu, pada suatu hari, ia mengambil keputusan untuk berhenti mengulang-ulang terus sepanjang waktu, lalu dia membuat rekaman dari kuliah yang biasa berikan. Dia memasuki ruangan kuliah dan berkata kepada mahasiswanya, “Apa yang akan kalian dengar adalah kuliah yang ingin kusampaikan dengan suaraku sendiri. Kalian bisa belajar dari rekaman ini, sama seperti saya hadir disini”. Profesor itu lalu memasang kaset itu dan memutar kembali kuliahnya di hadapan para mahasiswanya. Sang profesor lalu kembali ke ruangannya sendiri di ruang dosen untuk menikmati secangkir kopi. Lima belas menit kemudian, dia kembali ke ruangan kuliah dan menemukan bahwa para mahasiswanya dengan penuh perhatian mengikuti rekaman kuliahnya. Sang profesor merasa sangat senang bahwa dia sudah tidak perlu mengulang-ulang lagi kuliahnya.
Setelah beberapa hari menggunakan tape untuk memutar kembali kuliah bagi para mahasiswanya, dia pergi ke ruang kuliah untuk melihat apakah para mahasiswanya masih memperhatikan kuliahnya. Ia terkejut, karena tak seorang mahasiswapun hadir di situ. Ulangan rekaman kuliahnya masih terdengar dengan jelas dari tape recorder yang diputar keras-keras. Namun ia mendapatkan banyak tape recorder kecil mengelilingi miliknya yang besar. Semua tape recorder kecil itu sedang merekam kuliahnya.
Guru harus mengajar dari hati ke hati. Jika kita mengajar dari sebuah tape recorder, maka akan sampai ke dalam tape recorder lain. Apapun yang dikatakan atau dikerjakan guru, anak akan merekamnya semua di dalam pikiran bawah sadarnya, yang akan mempengaruhi sang anak di kemudian hari. Agar sifat-sifat unggul/prima tumbuh dalam diri sang anak, maka kita harus mengajarkan pendidikan agama sepanjang waktu, agar anak-anak menyerap nilai-nilai ini ke dalam alam bawah sadar sehingga nilai-nilai yang ditanamkan ini terakumulasi sebanyak mungkin dalam kehidupan awal sang anak.
Pendidikan agama dan nilai-nilai kemanusiaan menggunakan cara yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam semua mata pelajaran. Di banyak negara, ada kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Negara. Selanjutnya, guru harus mengajar sesuai dengan isi kurikulum yang telah ditetapkan. Pendidikan agama dan nilai-nilai kemanusiaan tidak menghalangi isi kurikulum itu. Nilai-nilai ini hanya menunjukkan cara menggunakan kurikulum nasional dalam mengajar anak-anak sehingga berkembang sepenuhnya, karakter sempurna atau sifat-sifat prima mereka. Golden Rule for Teachers and Parents. Rules for Teachers and Parents: 1. Be a good example. 2. Go back to rule no.1.
Di dalam Veda, seseorang yang memberikan pendidikan disebut àcàrya. Nama lainnya adalah “adhyàpaka” yang juga berarti guru, di samping kata “guru” itu sendiri, sedang siswa (perubahan dari kata úiûya) disebut Brahmacàri, juga disebut “vidyàrti”, yang berarti yang mengejar dan mempelajari ilmu pengetahuan. Àcàrya berarti seseorang yang dianggap tidak hanya memberikan ilmu pengetahuannya secara teoritis kepada para siswa, tetapi juga memperbaiki karakter mereka. Pengertian àcàrya adalah: “àcàraý grahayatìti àcàryaá” yang berarti ia yang memberikan pendidikan karakter (seseorang). Dua hal penting dalam sistem pendidikan menurut Veda adalah brahmacarya dan àcàrya dan melalui kebersamaan keduanya seorang siswa dapat meningkatkan perbaikan moralitas dan karakternya.
Adalah tugas seorang guru, ketika seorang siswa menghadapnya, untuk meminta diajarkan kepadanya tentang kebenaran yang sesungguhnya yang ia ketahui (Muódaka Upaniûad I.2.13)., tanpa menyembunyikan sesuatu dari padanya, untuk sesuatu yang disembunyikan akan mengakibatkan kejatuhannya (Praúna Upaniûad VI.1). Kitab Taittirìya Àraóyaka (VII.4) menguraikan bahwa seorang guru mestinya mengajar siswanya dengan sepenuh hati dan jiwanya. Ia juga terikat, yang menurut Úatapatha Bràhmaóa (XIV.I.1.26.27) untuk menguraikan segala sesuatunya kepada para siswa, yang tinggal selama setahun penuh (saývatsara-vàsin).. seorang guru hendaknya cukup bebas, hal itu mestinya dipahami, untuk menurunkan pengetahuan kepada siswanya, yakni pengetahuan tentang segala sesuatu yang tidak setara. Satu catatan tentang kasus-kasus tertentu tentang proses belajar mengajar yang bersifat rahasia kepada orang tertentu.
Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988: 259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah dalam pendidikan menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava” (umat manusia) meningkat kualitas hidup dan kehidupannya menjadi para “madhava”, yakni umat manusia yang memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan yang tinggi, tidak sebaliknya “manava” jatuh menjadi “danava-danava”, yakni manusia dengan karakter raksasa, rakus, dengki dan berbagai sifat buruk lainnya. Di dalam Taittirìya Upaniûad (7) dapat ditemukan tentang kewajiban seorang siswa untuk dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara benar/membicarakan kebenaran, rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta tidak lalai dan membuang waktu (satyaývàda-dharmàcara-svadhyàya-na pramadaá).
Dengan memahami hakekat dan tujuan pendidikan menurut ajaran suci Veda yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa, kiranya kita dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan tersebut, mengingat ajaran suci Veda bersifat “anadi-ananta-nirvigraha” yakni tidak berawal-tidak berakhir, tidak berubah, abadi dan dapat berlaku sepanjang masa.

Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Hindu
Ada dua cara mengajar di sekolah. Pertama guru agama mengajarkan secara langsung ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan secara langsung kepada anak-anak. Kedua, diintegrasikan ajaran agama tersebut dengan semua mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah. Supaya terjadi transformasi anak-anak dengan efektif dan tertanamnya pendidikan agama dalam diri anak-anak, maka mata pelajaran agama setiap hari haruslah metoda langsung yang dapat menyentuh hati setiap diri anak.
Waktu mata pelajaran lainnya, guru-guru mata pelajaran yang lain atau guru kelas dapat mengintegrasikan pendidikan agama ke dalam pelajaran yang mereka ajarkan. Para guru harus bermufakat mengenai nilai pendidikan agama yang mereka ajaran dalam setiap minggunya. Guru agama tidak hanya mengajarkan pokok materi, tetapi lebih dari itu adalah menangkap pesan dari materi itu. Pendidikan agama, yang memancar dalam bentuk kasih sayang, mencakup 5 hal, yaitu:
1) prilaku yang benar (right action/dharmàcara)
2) kedamaian (peace/úànti)
3) kebenaran (truth/satyam)
4) cinta kasih (love/parama prema)
5) tanpa kekerasan (non violence/ahimúa)
Matematika, ilmu pengetahuan dan semua mata pelajaran lainnya digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dari pendidikan agama di atas. setiap anak akan dapat melihat contoh dan mendengarkan perilaku yang benar dan baik, mewujudkan kedamaian hati, kebenaran senantiasa jaya, cinta kasih yang tulus dan sejati serta prilaku yang jauh dari kekerasan atau penyiksaan.
Bila seorang guru agama memilik metoda secara langsung, maka digunakan metoda langsung. Di sekolah-sekolah yang menggunakan metoda langsung, bila penyampaiannya baik, maka anak-anak sangat menikmati pelajaran tersebut. Untuk itu para guru agama harus mempersiapkan diri dengan baik sehingga menjadikannya menarik bagi anak-anak. Untuk membuat rencana pelajaran yang menggunakan metoda langsung dalam mengajarkan ajaran agama, maka penguasaan terhadap materi yang akan disajikan benar-bnera harus disiapkan.
Adapun teknik yang telah tebukti digunakan dibeberapa negara maju antara lain:
1) hening atau meditasi sebelum pelajaran dimulai (silent sitting)
2) sembahyang/berdoa (prayers) dan selesainya diterjemahkan doa tersebut kedalam bahasa yang mudah dipahami
3) berceritra, ceramah dan menjelaskan (story telling)
4) menyanyi bersama (group singing)
5) kegiatan berkelompok (group activities)
Mengingat bahwa seorang guru agama dan guru-yang lain adalah contoh seluruh siswa, maka keteladanan bagi guru sangat ditekankan. Ketika anak masih di lingkuan keluarga, pra TK dan prasekolah, maka ibu dan bapak adalah tokoh yang ideal bagi anak yang bersangkutan, tetapi demikian anak itu mengenyam pendidikan baik di TK maupundi SD maka para guru tersebut senantiasa menjadi tokoh idola bagi anak tersebut, tokoh idola akan memudar sesuai dengan evolusi dan perkembangan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan lingkungannya, tokoh-tokoh legendaris lebih atau tokoh-tokoh besar dalam berbagai bidang akan menjadi perhatian mereka di kemudian hari.
Bhagawan Vararuci merumuskan dalam salah satu ajaran tentang perbuatan baik atau tatasusila yang bersumber pada Mahàbhàrata meliputi pikiran, wicara, dan tindakan disebut Karmapatha, yang mengandung makna jalan perbuatan, yang kemudian lebih populer dengan ajaran Trikaya Pariúuddha, seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya (73-76), sebagai berikut: Pertama: Tiga hal pengendalian pikiran, yaitu: (1) Tidak ingin memiliki dan dengki terhadap milik orang lain. (2) Tidak cepat marah (emosional). (3) Meyakini kebenaran ajaran Karmaphala (hukum pahala perbuatan). Kedua, Empat hal pengendalian perkataan, yaitu: (4). Tidak berkata jahat (tidak jujur). (5) Tidak berkata kasar dan menghardik. (6) Tidak memfitnah. (7) Tidak berbohong. Ketiga, Tiga hal pengendalian perbuatan, yakni: (8) Tidak membunuh (menyakiti) makhluk lain. (9). Tidak mencuri. (10) Tidak berzina (berhubungan seks dengan yang tidak patut).
Setelah memahami ajaran Trikaya Pariúuddha di atas, maka dikemukakan beberapa kiat untuk meningkatkan implementasi pendidikan budi pekerti dalam rangka ketahanan mental dan spiritual sebagai insan beragama, sebagai berikut.
1) Memahami pekerjaan, tugas dan kewajiban, serta tanggungjawab sesuai dengan swadharma masing-masing. Yang dimaksud adalah seseorang profesional di bidangnya dengan kualitas atau standar tertentu yang dibutuhkan oleh pasaran kerja di bidang pariwisata.
2) Menjaga integritas diri seperti kejujuran, ketulusan, kerja keras, dan berperilaku sopan, karena hidup senantiasa menghadapi ujian. Keperibadian Indonesia, khususnya kepribadian orang Bali telah dikenal di mancanegara sebagai orang yang jujur, tulus, ikhlas, giat bekerja, sopan santun dalam berprilaku, hendaknya hal tersebut ditingkatan terus dengan senantiasa belajar terutama menyangkut ketrampilan dalam etika profesional internasional universal. Dalam ajaran Agama Hindu terdapat doktrin yang menyatakan: Satyam eva jayate. Kejujuran senantiasa menang. Satyam nasti paro Dharma, kejujuran merupakan wujud agama yang tertinggi. Ahimsa parama Dharma, tidak menyakiti hati orang lain merupakan Dharma tertinggi. Tat-tvam-asi, hendaknya memandang orang lain seperti diri kita sendiri. Sarvaprani hitankarah, semoga semua makhluk hidup sejahtra dan bahagia. Vasudhaiva kutumbhakam, semua makhluk bersaudara. Athiti devo bhava, tamu adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti dihormati dengan baik, dan sebagainya. Dengan demikian dalam pelayanan yang prima dan profesional syarat mutlak yang diperlukan adalah kejujuran (integritas), keikhlasan, dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar dan bahkan melebihi standar yang diperlukan.
3) Mewujudkan keramah-tamahan yang sejati. Atas dasar ajaran Agama Hindu yang telah dijelaskan di atas (butir 2) maka syarat mutlak sebagai insan pariwisata adalah keramah-tamahan dan bertanggung jawab dengan tidak perlu malu untuk meminta maaf bila melakukan kesalahan.
4) Membina hubungan sosial yang mantap sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni secara vertikal (ke atas) dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan Roh Suci Leluhur. Dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan sekitar (termasuk makhluk-makhluk rendahan).
5) Memilih pergaulan (saýsarga) yang tidak menyesatkan (menjerumuskan). Pergaulan bebas dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penderitaan. Melakukan karma-karma buruk seperti menggaruk-garuk gatal, enak pada mulanya, perih, dan luka pada akhirnya
Untuk merealisasikan atau mengimplementasikan kiat-kiat tersebut di atas, hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut.
1) Membiasakan diri (abhyàsa). Segala sesuatu untuk mengubah karakter (sifat pribadi) seseorang adalah dengan melatih diri (drill). Jadikanlah melayani seseorang dengan ramah sebagai kebiasaan. Biasakanlah berdoa setiap saat dan dalam berbagai situasi. Bila doa diucapkan dengan hati yang tulus, Tuhan Yang Maha Esa akan mengabulkan doa tersebut, seperti kebiasaan berdoa sebelum menikmati makanan, berdoa ketika melewati tempat suci, arca atau pura. Hilangkan kebiasaan mengumpat, memaki, mencaci, dan berkata-kata kasar.
2) Mengikhlaskan diri (tyàga). Segala sesuatu yang dihadapi mesti diterima dengan ikhlas, tidak menggerutu, apalagi mengumpat dan memfitnah. Misalnya sebuah gelas milik kita pecah atau tidak sengaja dipecahkan oleh orang lain. Ikhlaskan karena sesuatu terjadi sebagai akibat dari ajaran karma yang pernah dilakukan sebelumnya.
3) Tidak mengikatkan diri (vairàgya). Sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan, belum tentu memberikan kebahagiaan. Seseorang jangan sampai terikat (ketagihan) minum minuman keras, merokok, dan sebagainya. Mampu mengendalikan diri, seperti seorang kena penyakit diabetes diminta mengendalikan diri, utamanya berpuasa terhadap makanan tertentu.
4) Mensyukuri (santosa). Segala sesuatu yang diterima hendaknya dapat disyukuri sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pepatah Barat menyatakan, jangan mengeluh baru tidak memiliki sepatu, coba lihat orang yang tidak mempunyai kaki.
5) Seimbang dalam suka dan duka (ûþhitapràjña). Dalam suka dan duka seseorang hendaknya dapat hidup tenang. Seimbang dalam suka dan duka dapat dibandingkan dengan orang yang sedang bermain selancar di pantai, tidak selalu di atas gelombang, tapi kadang-kadang juga sekali-sekali tenggelam ke dalam air laut. Ketika kembali meniti gelombang dia tersenyum manis menikmati enaknya berselancar.
Dari uraian di atas, peranan orang tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh-tokoh agama sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian (karakter) manusia yang akan mengantarkan seorang anak didik mampu menjadi manusia dewasa yang sempurna.

Simpulan
Dari uraian di atas maka mengimplementasikan pendidikan Agama Hindu berbasis global adalah mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, membangun kecerdasan yang seimbang antara spiritual, intelektual, emosional, dan kinestetika serta dengan metode yang akrab antara guru atau orang tua dan peserta didik serta sebanyak mungkin memberikan contoh dan keteladanan.

Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan. 2005. ‘Strategi Bali Mempertahankan Kearifan Lokal di Era Global’ dalam Kompetisi Budaya dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.
Atlekar, G.S. 1987. Studies on Vàlmìki Ràmàyaóa, Poona, India: Bhandarkar Oriental Research Institute.
Dutt, M.N.1988. Mahàbhàrata. Àdiparva. Translated in to English from Original Sanskrit Text, Vol.1. New Delhi: Parimal Publications.
Dvivedi, K.D.1989. The Essennce of the Vedas. Gyanpur, Varanasi, India: Vishva Bharati Research.
Mookerji, Radha Kumudh.1989. Ancient Indian Education. Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Poerbatjaraka, RMNg. 1983. Nitisastra Kakawin. Denpasar, Bali: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Puja G, Sudharta Tjokordha Rai.2005. Manavadharmasastra (Veda Smerti). Surabaya: Penerbit Paramita.
Radhakrishnan, S. 1990. Principal Upaniûads. Centenary Edition, Oxford University Press: New Delhi-Bombay-Banares.
Satyavrata Siddhantalankar. 1980. Exposition of Vedic Thought. New Delhi: Munshiram Manoharlal.
Sivananda Swami. 1988. All About Hinduism. Himalaya, India: A Divine Life Socoety,
Titib, I Made. 1996.Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.
———.2008. Buku Panduan Pelatihan Membangun Kecerdasan Holistik (PMKH). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.

Leave a comment